Apa Pun Karunia-Mu untukku di Akhirat, Persembahkan untuk Ayah dan Ibuku

✍️ KATA PENGANTAR
"Tuhan, apa pun karunia-Mu untukku di akhirat, persembahkan kepada sahabat-sahabat-Mu.
Bagiku, cukuplah Engkau."
(Sebait rasa, dari lagu "Doa" — Rafly)

Kepada Tuhan yang Maha Mengasihi,
dan kepada dua wajah yang tak pernah hilang dari rindu: Ayah dan Ibu.

Buku ini tidak lahir dari kefasihan. Bukan pula dari kehebatan memahami hidup.
Ia tumbuh perlahan dari ruang paling senyap:
kerinduan.

Rindu pada wajah yang dahulu menua tanpa keluh demi aku.
Rindu pada tangan yang dahulu mengusap keningku saat demam.
Rindu pada suara yang kini hanya hidup dalam ingatan.

Aku menulis bukan karena tahu banyak. Aku menulis karena takut lupa.
Takut waktu menyeretku menjauh dari yang paling penting.
Takut pahala datang tanpa pernah sempat kupersembahkan kepada mereka yang paling pantas.

Maka kepada-Mu, Tuhan…
Apa pun karunia-Mu untukku di akhirat, persembahkan untuk ayah dan ibuku.
Bagiku, cukuplah Engkau.

Karena mereka adalah awal nafasku.
Karena mencintai mereka adalah jalan mencintai-Mu.
Dan karena kutahu, segenap cinta yang tulus, tak pernah sia-sia di sisi-Mu.

Buku ini adalah doa dalam bentuk tulisan.
Cinta dalam bentuk kenangan.
Dan harapan yang tak selesai,
agar di antara segala yang fana,
ada sesuatu yang tetap hidup—untuk akhirat mereka.


ARIDWAN





📖 DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Bab 1: Munajat Malam — Kembali Pada Allah
Bab 2: Karunia yang Terindah
Bab 3: Ayah dan Ibu dalam Doa dan Ingatan
Bab 4: Cinta dan Bakti yang Terlambat Disadari
Bab 5: Jika Ada Karunia untukku di Akhirat… Berikanlah untuk Ayah dan Ibuku
Bab 6: Surat Terakhir untuk Ayah dan Ibu
Bab 7: Tuhanku, Terimalah Persembahan Ini
Bab Penutup: Bagiku, Cukuplah Engkau



Bab 1: Munajat Malam — Kembali Pada Allah


Dingin malam menyentuh kalbu,

Langit sunyi tiada berlagu.

Di sejadah tempat yang syahdu,

Rindu terlerai bertemu Tuhanku.

Air mata jatuh membasahi pipiku,

Mengalir doa dari hatiku,

Memohon rahmat hanya dari-Mu


Ketika malam menutup dunia dengan sunyinya, masih ada jiwa yang menolak untuk lelap. Ia tidak mencari dunia, melainkan mencari Dia yang menciptakan dunia. Dalam sepertiga malam yang paling hening, ketika doa lebih dekat daripada bayang, ketika air mata lebih jujur daripada kata-kata—di situlah bermula munajat yang sebenar.

Munajat malam bukan sekadar ibadah; ia adalah keikhlasan yang paling dalam. Ia adalah jeritan halus jiwa yang lelah, namun tak pernah kehilangan harapan. Dalam diam dan tunduk, seorang anak memohon: “Apa pun karunia-Mu untukku di akhirat, persembahkan untuk ayah dan ibuku.” Kerana tiada siapa lebih layak untuk menerima pahala yang kekal, selain mereka yang telah memberikan segalanya di dunia—tanpa meminta kembali.

Munajat adalah jalan pulang. Di situ terletak kerendahan hati, tempat seorang anak mengaku betapa banyak salahnya, betapa banyak lalainya kepada Tuhannya, dan kadang juga kepada ibu bapanya. Namun kasih Tuhan tiada sempadan, dan kasih orang tua tetap mengalir meski tanpa kata.

Jika ada satu harapan yang boleh kupilih dalam hidup ini,

maka biarlah seluruh amalanku, tangisan malam ini, dan sujud panjangku,

menjadi persembahan agar ayah dan ibu dimuliakan di sisi-Mu, ya Allah.

Kerana mereka tidak pernah meminta balasan,

maka tempatkanlah mereka di sisi-Mu yang paling indah.


Doa Munajat Malam

Ya Allah...

Dalam malam-Mu yang sunyi ini,
aku datang sebagai anak yang hina,
membawa harapan yang besar
untuk dua insan yang telah mengorbankan segalanya untukku.

Ampunilah dosa mereka,
lapangkanlah kubur mereka,
terangilah jalan mereka menuju-Mu.

Jadikan setiap langkahku kebaikan untuk mereka,
dan setiap amalku sebagai hadiah yang mengalir tanpa henti.

Kerana aku tahu,
takkan pernah cukup nafasku untuk membalas jasa mereka,
melainkan Kau, Tuhan yang Maha Membalas.

Terimalah aku,
agar aku menjadi anak yang menghadiahkan kebaikan kepada orang tuanya,
di dunia ini, dan di akhirat nanti.



Dalam munajat kutemui hikmat,
Dalam tangis tersirat nikmat.
Apa pun karunia dari akhiratDalam munajat kutemui restu,

Dalam tangis tersimpan syahdu.

Hati yang jauh kini bersatu,

Dengan Tuhanku yang Maha Satu.

Segala harap kupulang pada-Mu,

Apa pun karunia akhirat-Mu,

Persembahkanlah untuk ayah bundaku.,
Untuk ayah bundaku, persembahkanlah khidmat.


Terima kasih atas perhatiannya—benar, narasi Bab 2: Karunia yang Terindah belum cukup menekankan tema utama buku, yaitu kerinduan mendalam agar apa pun karunia di akhirat diberikan sebagai persembahan untuk ayah dan ibu.

Berikut saya revisi naratif bab ini, agar "karunia yang terindah" tidak hanya dimaknai sebagai kehadiran orang tua, tetapi juga sebagai kesempatan untuk menghadiahkan seluruh pahala akhirat kepada mereka. Saya juga akan pertajam rasa rindu, harap, dan bakti anak kepada orang tuanya—baik yang masih hidup mahupun telah tiada.


Bab 2: Karunia yang Terindah


Embun pagi menyapa kalbu,
Mentari muncul perlahan lesu.
Langkah kecil kuatur satu-satu,
Mengingat jasa yang tak pernah layu.
Ibu dan ayah dalam doaku,
Wajah mereka hadir di benakku,
Karunia hidup terindah dari Tuhanku.


Apa sebenarnya karunia yang terindah dalam hidup ini?
Bagi sebagian orang, mungkin itu rezeki yang luas, nama yang harum, atau ketenangan jiwa.
Namun bagiku, karunia yang terindah bukan apa yang kuterima—tetapi kesempatan untuk memberi kembali kepada dua insan yang pernah memberi segalanya: ayah dan ibuku.

Mereka tak pernah menuntut. Mereka tak pernah mengeluh meski tubuh letih dan hati lelah.
Segala yang kupunya hari ini adalah kerana mereka dahulu rela kehilangan untuk aku memiliki.
Segala kebaikan yang ada padaku adalah dari didikan yang mereka tanamkan tanpa jemu.
Kini aku memohon kepada Tuhanku:
Jika aku layak menerima apa-apa kurnia di akhirat——maka persembahkanlah semuanya untuk mereka.

Itulah karunia yang paling indah:

syurga yang kupohon agar Kau persembahkan

kepada mereka yang pertama kali mengenalkanku pada nama-Mu,

yang menuntunku sujud sebelum aku tahu maknanya,

yang mendidikku mengenal Engkau sebelum aku tahu siapa diriku.

Jika aku berbuat baik, semoga mereka mendapat bahagiannya.
Jika aku menulis kebaikan, semoga mereka mendapat cahayanya.
Jika aku berdoa malam-malam, itu semua utuk ayah dan ibu ku

 Kerana aku tahu, tidak akan pernah cukup nafasku untuk membalas jasa mereka,
maka biarlah segala karunia akhirat-Mu, ya Allah, kupersembahkan untuk mereka.


Doa Karunia untuk Orang Tua

Ya Allah,
Engkau yang menitipkanku dalam rahim ibuku,
Engkau yang mendidikku lewat tangan ayahku.
Maka hari ini aku datang kepada-Mu,
membawa harapan dan cinta yang tak pernah padam untuk mereka.

Jika aku berhak atas pahala dari amalku,
jika Kau tuliskan syurga untukku di akhirat,
maka persembahkanlah itu semua untuk ayah dan ibuku.

Jadikan setiap langkahku penenang kubur mereka,
dan setiap zikirku pelembut perjalanan mereka ke akhirat,muliakanlah mereka melebihi harapanku.


 

Tiada yang indah selain restu,
Dari ayah dan ibu yang selalu merindu.
Doa mereka tembus langit biru,
Menjadi perisai sepanjang waktu.
Jika aku layak menerima syurga-Mu,
Mohon hadiahkan itu pada mereka dahulu,
Karena merekalah karunia terindah dari-Mu.





Baik sekali—berikut revisi Bab 3: Ayah dan Ibu dalam Doa dan Ingatan dengan tetap menegaskan tema utama buku:

"Apa pun karunia-Mu untukku di akhirat, persembahkanlah untuk ayah dan ibuku."

Penambahan ini diselipkan secara halus dan mendalam dalam narasi dan doa, agar tetap padu secara emosi dan spiritual.


Bab 3: Ayah dan Ibu dalam Doa dan Ingatan

Hening malam kuisi syahdu,
Wajah ayah terbayang selalu.
Ibu tersenyum di pelupuk mataku,
Kenangan mereka tak pernah layu.
Tak mampu balas segala restu,
Maka kupanjatkan doa penuh rindu,
Untuk mereka, penunjuk jalanku.


Ada pengorbanan yang tidak tercatat di buku sejarah.
Ada cinta yang tidak terdengar oleh dunia, tapi mengguncang seluruh hidup kita.
Ayah dan ibu mencintai dalam sunyi, memberi dalam diam,
dan mengorbankan segalanya tanpa pamrih.
Kita mungkin tak pernah tahu, berapa kali mereka menahan lapar agar kita bisa makan.
Atau berapa malam mereka berjaga saat kita tidur tenang.

Kini ketika kaki mulai kuat menapak,
dan jiwa mulai mengenal makna hidup,
aku sadar:
segala yang kupunya adalah limpahan cinta mereka yang tak terucap.
Dan jika benar aku akan menerima apa pun dari-Mu kelak, ya Allah—
apa pun pahala, ampunan, syafaat, atau bahkan syurga—
maka aku mohon, persembahkanlah semua itu untuk ayah dan ibuku.

Mereka adalah doaku yang abadi.
Namanya kusebut dalam setiap sujud, meski suara tak terdengar oleh yang lain.
Kenangan mereka hidup di balik diamku,
dan kasih mereka masih membasahi relung hati meski telah lama pergi.


Doa untuk Ayah dan Ibu dalam Ingatan

Ya Allah,
tak semua rasa mampu kulafazkan,
tak semua cinta mampu kubalas.
Tapi Engkau tahu dalam diamku ada rindu,
dalam sujudku ada nama yang tak pernah kutinggalkan.

Hari ini aku datang membawa segenap harap,
agar apa pun karunia-Mu yang Engkau takdirkan untukku di akhirat—
persembahkanlah semua itu untuk ayah dan ibuku.

Muliakanlah mereka dengan rahmat dan redha-Mu,
dan jadikan amalanku sebagai cahaya yang terus mengalir kepada mereka.



Setiap langkah mengingat restu,
Setiap doa membawa namamu.
Meski jarak memisah tubuhku,
Takkan pernah hilang bayang wajahmu.
Jika syurga menjadi janjimu,
Mohon titipkan untuk mereka dahulu,
Ayah dan ibu, hidupku yang satu.




Bab 4: Cinta dan Bakti yang Terlambat Disadari


Mentari senja berwarna sendu,
Terasa perih di relung kalbu.
Terlalu lama hatiku beku,
Lupa menatap wajah penuh restu.
Kini hanya tinggal rindu,
Dan sepi yang menggema bisu,
Pada cinta yang tak terbalas dahulu.


Tak semua anak menyadari besarnya cinta orang tua saat cinta itu masih ada.
Ada yang sibuk mengejar dunia, lupa ada tangan tua yang pernah membantunya berdiri.
Ada yang tak pernah bertanya kabar, hingga suatu hari hanya batu nisan yang bisa dikunjungi.
Aku adalah salah satunya—anak yang mencintai, tapi terlalu lambat menyadarinya.

Kini aku mengerti bahwa kasih sayang mereka tidak menunggu untuk dihargai,
namun aku menyesal tidak lebih awal membalasnya.
Waktu telah merenggut banyak kesempatan:
kesempatan untuk memeluk lebih lama,
untuk mendengar lebih dalam,
dan untuk mengucapkan "terima kasih" yang sebenarnya terlalu sedikit untuk semua yang telah mereka beri.

Namun aku belajar:
Cinta tak mati hanya kerana jasad telah tiada.
Bakti tak berhenti hanya kerana waktu telah berlalu.
Doa menjadi jembatan untuk menyampaikan cinta yang tertunda.
Sedekah, amal jariah, dan akhlak baik—semuanya menjadi hadiah yang tetap mengalir,
bahkan ketika tangan ini tak lagi mampu menggenggam tangan mereka.

Maka dalam setiap sujudku, aku tidak lagi meminta syurga untuk diriku.
Aku tahu, tak ada balasan yang layak kuberikan selain satu harapan:
"Ya Allah, apa pun karunia-Mu untukku di akhirat, persembahkanlah semuanya untuk ayah dan ibuku."


Doa untuk Cinta dan Bakti yang Tertunda

Ya Allah,
Engkau Maha Mengetahui isi hati yang penuh sesal.
Engkau Maha Mendengar rintih yang terlambat terucap.

Jika cinta ini datang terlambat,
terimalah ia sebagai cinta yang tulus dan bersungguh.
Jika baktiku tak sempat kulakukan saat mereka hidup,
izinkan aku menggantinya dengan amal yang mengalir untuk mereka.

Apa pun pahala dari zikirku,
apa pun cahaya dari sedekahku,
mohon sampaikanlah kepada mereka sebagai tanda cintaku.

Dan jika aku layak menerima syurga dari-Mu,
titipkanlah syurga itu untuk ayah dan ibuku..



Waktu berlalu tak bisa kutunggu,
Namun kasih tak pernah layu.
Rasa bersalah menjadi candu,
Namun harap tak pernah beku.
Apa pun karunia dari-Mu,
Jika layak untukku satu,
Mohon hadiahkan untuk ayah dan ibuku.



Berikut adalah versi lengkap dan rapi untuk Bab 5: Jika Ada Karunia untukku di Akhirat… Berikanlah untuk Ayah dan Ibuku, sesuai dengan tema utama buku dan penekanan bahwa seluruh amal dan pahala diniatkan hanya untuk ayah dan ibu, bukan untuk diri sendiri.


Bab 5: Jika Ada Karunia untukku di Akhirat… Berikanlah untuk Ayah dan Ibuku


Kala malam berselimut pilu,
Langit diam tak bersuara satu.
Kupanggil nama dalam sujud syahdu,
Ayah dan ibu di dasar kalbu.
Apa pun karunia dari Tuhanku,
Tak ingin aku menyimpannya dulu,
Kuserahkan semua untuk mereka yang aku rindu.


Ada doa yang tak pernah padam dari hatiku—sebuah harap dalam diam yang terus kupelihara:
“Ya Allah, jika Engkau takdirkan untukku pahala, syafaat, ampunan, atau surga… berikanlah semuanya untuk ayah dan ibuku.”

Aku tidak beribadah demi tingginya derajat di akhirat,
bukan pula demi nama di langit atau pujian di bumi.
Cita-citaku sederhana, tapi tak ternilai:
agar setiap sujudku, zikirku, amal dan air mataku menjadi hadiah untuk mereka yang mencintaiku tanpa syarat.

Ayah yang dulu diam-diam mengurangi makan demi menyekolahkanku,
Ibu yang dahulu menahan sakit demi melahirkan dan membesarkanku,
keduanya tak pernah meminta apa pun sebagai balasan—hanya agar aku menjadi baik di mata Tuhan.
Kini, jika ada satu balasan dari langit untukku,
aku mohon: berikanlah itu untuk mereka.

Aku tidak bercita-cita menjadi yang paling mulia,
tidak berharap menjadi ahli surga paling tinggi.
Cita-citaku hanya satu:
agar apa pun karunia akhirat yang boleh kudapat,
diberikan seluruhnya untuk ayah dan ibuku.
Segala pahala dari sujud dan zikirku,
segala kebaikan dari amal dan air mataku—
semuanya ingin kupersembahkan hanya untuk mereka.


Doa Munajat: Amal dan Surga untuk Ayah dan Ibu

Ya Allah,
jika ada satu pahala dari tiap sujudku,
jika ada sebutir cahaya dari setiap zikirku,
jika ada syafaat dari tiap air mataku,
maka aku mohon,
berikan semuanya untuk ayah dan ibuku.

Jangan Engkau simpan karunia itu untukku lebih dahulu.
Mereka yang mendidikku mengenal-Mu lebih layak menerimanya.
Tempatkanlah mereka di sisi-Mu,
jauh dari azab dan penuh dengan nikmat,
dan biarkan aku hidup hanya sebagai jalan
untuk menghadiahkan cinta dan bakti ini kepada mereka.


Tak kuharapkan syurga untuk diriku,
Tak kudamba pujian para makhluk-Mu.
Apa pun ganjaran yang dari-Mu,
Mohon hadiahkan untuk ayah dan ibuku.
Jadikan mereka damai dalam lindung-Mu,
Bersinar dalam rahmat tanpa jemu,
Kerana merekalah surga yang paling syahdu.





Bab 6: Surat Terakhir untuk Ayah dan Ibu


Di malam yang senyap aku merayu,
Pada langit luas kutulis rindu.
Surat ini bukan untuk dunia tahu,
Tapi untuk ayah dan ibu yang tak lagi di sisiku.
Tak sempat aku ucap terima kasih dulu,
Kini hanya bait dan doa yang bisa kupalu,
Dalam sunyi yang terus mengharu.


Surat Terakhir untuk Ayah dan Ibu

Ayah, Ibu…

Maafkan anakmu yang terlambat mencintai dengan sebenar-benarnya cinta.
Dulu aku sibuk tumbuh, mengejar dunia,
hingga lupa bahwa waktumu di sisiku tak selama yang kuduga.
Aku tak sempat bilang betapa kalian adalah seluruh hidupku.
Hari ini aku menulis surat ini dengan hati yang penuh sesal dan rindu.

Terima kasih karena telah mengajariku menjadi manusia.
Karena cinta kalian, aku mengenal kasih yang tak meminta kembali.
Karena kesabaran kalian, aku belajar berdiri meski jatuh berkali-kali.
Karena doa-doa kalian, aku masih berada di jalan-Nya,
meski langkahku sering tersesat oleh dunia.

Ayah…
Aku ingat genggaman tanganmu saat mengajariku melangkah,
dan aku tahu, doamu tak pernah lepas meski jarak kita semakin jauh.
Ibu…
Aku ingat pelukanmu yang selalu mendamaikan,
dan aku tahu, ridhomu lebih luas dari seluruh kesalahanku.
Kini kalian mungkin jauh dari pandanganku,
tapi tidak pernah jauh dari jiwaku.

Jika Allah izinkan satu pertemuan di surga,
aku tak minta istana atau kemuliaan…
cukup dipertemukan kembali denganmu,
agar semua yang belum selesai
dapat kutebus dengan peluk yang abadi.




Jika hidupku masih dalam restu,
Maka surat ini adalah bukti rindu.
Tak sempat kuucap cinta yang syahdu,
Tapi semoga sampai di langit-Mu.
Ayah dan ibu, tunggulah aku,
Di taman akhirat yang Engkau mahu,
Agar cinta ini kembali bersatu.


Berikut adalah susunan lengkap untuk Bab Penutup: Tuhanku, Terimalah Persembahan Ini, yang berfungsi sebagai penutup buku dan doa pamungkas. Bab ini memadukan doa, harapan, dan pesan kepada para pembaca dalam nada yang reflektif dan penuh haru:


BAB 7 :Tuhanku, Terimalah Persembahan Ini


Tuhanku, terimalah doa anak-Mu,
Yang menulis dengan linangan pilu.
Bukan kerana hebatnya ilmu,
Tapi rindu yang tak pernah layu.
Kalau ada nilai dalam kata yang syahdu,
Itu hanyalah kerana cinta yang satu:
Untuk ayah dan ibuku.



Ya Allah,
jika ada setitik cahaya dari tulisan ini,
jika ada satu amal yang bernilai di sisi-Mu,
maka jangan simpan itu untukku.

Persembahkanlah semuanya untuk ayah dan ibuku.

Terimalah buku kecil ini sebagai tanda bakti seorang anak yang tak tahu bagaimana lagi mencintai,
selain dengan doa, air mata, dan kata-kata.

Aku tak mampu menghadiahkan dunia untuk mereka,
tapi aku memohon agar Engkau menghadiahkan surga untuk keduanya.

Tempatkan mereka dalam lindungan-Mu,
bahagiakan mereka sebagaimana mereka pernah membahagiakanku,
dan ampuni kekuranganku dalam membalas cinta yang begitu suci.


Harapan sebagai Amal Jariah

Buku ini bukan karya yang sempurna.
Tapi ia ditulis dari tempat paling jujur di hati:
rindu seorang anak kepada orang tuanya.
Jika ada pembaca yang merasa tersentuh,
semoga itu menjadi saksi bahwa cinta kepada orang tua masih hidup dan terus mengalir.

Aku berharap buku ini menjadi amal jariah—
bukan hanya untukku,
tetapi juga untuk ayah dan ibuku yang telah mendidik dan mencintaiku tanpa pamrih.
Setiap huruf, setiap halaman, adalah doa yang kubingkai untuk mereka.


Pesan kepada Pembaca

Untukmu yang membaca buku ini…

Jangan tunggu waktu untuk mencintai orang tuamu.
Ucapkan terima kasih saat mereka masih bisa mendengar.
Peluk mereka saat mereka masih bisa membalas.
Dan jika mereka telah tiada,
jangan pernah hentikan doa-doa.

Cinta anak yang paling tulus bukan hanya dengan kata,
tapi dengan sujud yang terus menyebut nama ayah dan ibu.



Jika tulisan ini ada nilainya di sisi-Mu,
Jadikan ia amal untuk ayah dan ibuku.
Biarlah kata menjadi titian rindu,
Yang menghubungkan dunia dan akhirat yang syahdu.
Tuhanku, aku berserah hanya kepada-Mu,
Bimbinglah aku dalam jalan yang satu:
Hidup mencintai-Mu… demi ayah dan ibuku.



Berikut adalah versi lengkap untuk Bab Penutup yang bertajuk:

Bab Penutup: Bagiku, Cukuplah Engkau

Bab ini ditulis sebagai puncak dari perjalanan batin seorang anak—yang telah mempersembahkan segalanya untuk ayah dan ibu—lalu akhirnya menyerahkan seluruh cinta dan harapannya kepada Tuhan. Ia mengandung syair pembuka, refleksi jiwa, doa akhir penuh ketundukan, dan syair penutup, semuanya bernada lembut, penuh keikhlasan, dan berserah.



Kala dunia perlahan berlalu,
Dan rinduku telah kusampaikan satu-satu.
Kepada mereka yang telah mendidikku,
Kepada ayah dan ibu tercintaku.
Kini hatiku kembali menghadap-Mu,
Tuhanku, Engkaulah akhir dari rindu,
Cinta abadi yang tak pernah jemu.


Refleksi: Cinta Terakhir yang Tak Pernah Mati

Setelah segala yang aku persembahkan untuk ayah dan ibu…
Setelah setiap sujud kuiringi dengan doa untuk mereka…
Setelah semua air mata kutumpahkan dalam diam…
Tinggallah Engkau, ya Allah, sebagai tempat aku pulang sepenuhnya.

Aku telah mencintai mereka dengan seluruh jiwaku,
dan kini aku berserah kepada-Mu,
kerana aku tahu, hanya Engkau yang mampu menjaga cinta itu selamanya.
Aku telah menulis dan berdoa,
mengharap pahala untuk mereka,
namun akhirnya aku sedar—
tiada satu pun akan sampai,
jika Engkau tak redha.


Doa: Kepasrahan Seorang Anak

Tuhanku…
Jika semua amal ini tak seberapa,
dan segala tulisanku hanyalah debu,
maka jadikanlah ia debu yang berterbangan menuju rahmat-Mu.

Aku tidak meminta balasan untuk diri sendiri,
tak ingin dikenang atau dipuji.

Cukuplah Engkau tahu bahwa aku mencintai ayah dan ibuku,
dan ingin cinta itu sampai kepada-Mu.

Aku ingin pulang kelak…
dan melihat mereka bahagia di sisi-Mu.

Jika itu telah Engkau catat,
maka tak lagi aku risaukan dunia ini.

Bagiku, cukuplah Engkau.


Syair Penutup

Jika seluruh dunia menjauh dariku,
Dan tiada nama yang memanggilku,
Asalkan Engkau, ya Tuhan, masih mahu.
Aku akan tetap berdiri bersamamu.
Ayah dan ibuku telah kuserahkan padamu,
Kini diriku pun kutitip penuh rindu,
Kerana bagiku, cukuplah Engkau selalu.




0 Comments

🏠 Home